Sebuah Asa
Oleh: Putri E. Pertiwi
"Menjadi seorang pelaut tidaklah mudah, Nak. Kau harus bisa menjadi
lelaki yang kuat, memiliki tanggung jawab dan berpendidikan tinggi. Kau
harus lebih sukses dari Ayah! Menjadi seorang Kapten yang menguasai
sebuah kapal besar. Keren sekali, bukan?"
Berkali-kali aku
mendengar ayah berkata seperti itu. Bola mata ayah yang kelopaknya
sudah keriput berkilat-kilat. Masih dapat kuingat jelas semangatnya,
bibirnya yang menghitam karena hisapan rokok selalu bergetar ketika ia
bercerita.
"Aku tidak ingin menjadi pelaut, Ayah...
Aku tidak ingin anak-anak serta isriku nanti aku tinggal sendirian di
rumah, seperti Ayah. Aku tidak ingin mereka merasa kesepian…" sahutku
memotong semangat ayah yang sedang bercerita, raut wajahnya seketika
berubah.
"Kau harus menjadi pelaut, Nak. Kelak
nanti, kau akan membahagiakan keluargamu. Percayalah pada Ayah! Kau
harus lebih baik dari Ayah! Betapa bangganya Ayah saat mendampingimu
berwisuda dengan seragam putih-putih milik para pelaut itu. Kamu harus
jadi Kapten, itu keren...!"
"Ayah...,"
"Kau harus, Nak. Harus. Gapailah cita-cita Ayahmu ini, dengan melihat
kamu menjadi apa yang Ayah inginkan, Ayah pun akan bangga, Nak."
Ayah
tersenyum tegas, lalu membulatkan bola matanya, mengisyaratkan bahwa
itulah keinginannya. Keinginan dari seorang lelaki paruh baya yang
sangat kusayangi. Lelaki yang mengurusiku sejak kecil, lelaki yang
membuat Ibuku pergi karena pekerjaannya. Jarang sekali untuk sekedar
bertemu, atau bahkan memberi perhatian...
***
Puaskah kau, Ayah?
Sekarang juga kau lihat aku! Aku sudah tampak gagah dengan seragam
putih-putih yang kau banggakan itu, bukan seragam compang-camping yang
selalu kau pakai untuk bekerja di badan kapal, dengan noda hitam dan oli
dimana-mana. Aku berbeda denganmu, lebih baik, bahkan jauh lebih baik.
Aku sudah keren…!
Namun, dimana kau sekarang, Ayah? Mengapa kau menghilang begitu saja?
Mana janjimu? Untuk membanggakanmu, saat aku telah dapat menggapai
cita-citamu. Kemanakah dirimu, Ayah? Mengapa kau memilih pergi? Apa kau
tak mempercayaiku untuk menggapai keinginanmu?
Kau bilang,
Kau ini hebat, kau adalah lelaki yang kuat, kau dapat menguasai lautan.
Karena kau seorang pelaut. Itu yang selalu kau ucapkan. Apakah masih
sampai saat ini?
Di laut mana Dia
menenggelamkanmu, Ayah? Katakan padaku! Kumohon, untuk kali ini saja.
Aku ingin menemuimu, dan berkata bahwa aku mampu menggapai cita-citamu!
Aku hanya ingin membuatmu bangga.
Anakmu, Ewild.
Aku mengangkat kertas putih yang baru saja kutulis, lalu membolak-balik permukaannya, melakukan lipatan-lipatan sederhana.
Yap, sebuah perahu kecil yang hanya terbuat dari kertas tipis telah siap kulayarkan di lautan yang sangat besar.
Terimalah
perahu kecil ini, Ayah... Aku harap kau membacanya, di lautan mana pun
kau berada sekarang. Aku percaya kau hebat, aku percaya kau kuat, namun
sampai kapanpun aku takkan percaya kau akan menguasai lautan. Karena
nyatanya, Tuhan telah memanggilmu, penguasa lautan sebenarnya telah
menenggelamkanmu di dasarNya. Entah di dasar mana.
Kulemparkankan kertas lipat itu, melayang-layang di udara, perlahan menyentuh permukaan laut, basah, dan tenggelam.
"Aku hanya ingin membuatmu bangga, Ayah."
***
Selesai.