Senin, 05 Maret 2012

Sebuah Asa

Sebuah Asa
Oleh: Putri E. Pertiwi

      "Menjadi seorang pelaut tidaklah mudah, Nak. Kau harus bisa menjadi lelaki yang kuat, memiliki tanggung jawab dan berpendidikan tinggi. Kau harus lebih sukses dari Ayah! Menjadi seorang Kapten yang menguasai sebuah kapal besar. Keren sekali, bukan?"

Berkali-kali aku mendengar ayah berkata seperti itu. Bola mata ayah yang kelopaknya sudah keriput berkilat-kilat. Masih dapat kuingat jelas semangatnya, bibirnya yang menghitam karena hisapan rokok selalu bergetar ketika ia bercerita.

      "Aku tidak ingin menjadi pelaut, Ayah... Aku tidak ingin anak-anak serta isriku nanti aku tinggal sendirian di rumah, seperti Ayah. Aku tidak ingin mereka merasa kesepian…" sahutku memotong semangat ayah yang sedang bercerita, raut wajahnya seketika berubah.

      "Kau harus menjadi pelaut, Nak. Kelak nanti, kau akan membahagiakan keluargamu. Percayalah pada Ayah! Kau harus lebih baik dari Ayah! Betapa bangganya Ayah saat mendampingimu berwisuda dengan seragam putih-putih milik para pelaut itu. Kamu harus jadi Kapten, itu keren...!"

     "Ayah...,"

     "Kau harus, Nak. Harus. Gapailah cita-cita Ayahmu ini, dengan melihat kamu menjadi apa yang Ayah inginkan, Ayah pun akan bangga, Nak."

Ayah tersenyum tegas, lalu membulatkan bola matanya, mengisyaratkan bahwa itulah keinginannya. Keinginan dari seorang lelaki paruh baya yang sangat kusayangi. Lelaki yang mengurusiku sejak kecil, lelaki yang membuat Ibuku pergi karena pekerjaannya. Jarang sekali untuk sekedar bertemu, atau bahkan memberi perhatian...

***

Puaskah kau, Ayah?
     Sekarang juga kau lihat aku! Aku sudah tampak gagah dengan seragam putih-putih yang kau banggakan itu, bukan seragam compang-camping yang selalu kau pakai untuk bekerja di badan kapal, dengan noda hitam dan oli dimana-mana. Aku berbeda denganmu, lebih baik, bahkan jauh lebih baik. Aku sudah keren…!
    
     Namun, dimana kau sekarang, Ayah? Mengapa kau menghilang begitu saja? Mana janjimu? Untuk membanggakanmu, saat aku telah dapat menggapai cita-citamu. Kemanakah dirimu, Ayah? Mengapa kau memilih pergi? Apa kau tak mempercayaiku untuk menggapai keinginanmu?

Kau bilang,

      Kau ini hebat, kau adalah lelaki yang kuat, kau dapat menguasai lautan. Karena kau seorang pelaut. Itu yang selalu kau ucapkan. Apakah masih sampai saat ini?
      Di laut mana Dia menenggelamkanmu, Ayah? Katakan padaku! Kumohon, untuk kali ini saja. Aku ingin menemuimu, dan berkata bahwa aku mampu menggapai cita-citamu!

Aku hanya ingin membuatmu bangga.

Anakmu, Ewild.

Aku mengangkat kertas putih yang baru saja kutulis, lalu membolak-balik permukaannya, melakukan lipatan-lipatan sederhana.

Yap, sebuah perahu kecil yang hanya terbuat dari kertas tipis telah siap kulayarkan di lautan yang sangat besar.

Terimalah perahu kecil ini, Ayah... Aku harap kau membacanya, di lautan mana pun kau berada sekarang. Aku percaya kau hebat, aku percaya kau kuat, namun sampai kapanpun aku takkan percaya kau akan menguasai lautan. Karena nyatanya, Tuhan telah memanggilmu, penguasa lautan sebenarnya telah menenggelamkanmu di dasarNya. Entah di dasar mana.
Kulemparkankan kertas lipat itu, melayang-layang di udara, perlahan menyentuh permukaan laut, basah, dan tenggelam.

      "Aku hanya ingin membuatmu bangga, Ayah."

***
Selesai.