Senin, 11 Juni 2012

Cendolshow ^_^


Sebelum mood nulis gue hilang lagi, gue mau nulis dulu  sedikit tentang kegiatan gue setengah harian kemarin di acara Cendolshow kemarin, tepatnya tanggal 10 Juni 2012 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Gue udah siap-siap dari rumah dari sekitar jam 8 pagi. Niat untuk berangkat tepat waktu jadi gak kesampaian, gara-garanya gue harus menyelesaikan konflik dulu sama nenek gue tersayang itu. Awalnya gue nggak diizinin buat pergi hari itu, nenek gue bersikukuh ngelarang gue buat pergi. Padahal gue udah siap, udah wangi, udah rapiiiih, masa gue batalin gitu aja? Kan nggak asyik banget. Akhirnya, gue harus jelasin sedemikian rupa biar nenek gue percaya dan ngasih izin. Yah, walaupun masih dengan marah-marah, gue dikasih pergi juga.
Bis pertama yang gue naikkin itu Metromini 07. Beuh …! Naiknya itu bikin jantung mpot-mpotan. Gue rasa supir metromini itu penggemarnya Valentino Rossi, setiap belokan pastiii ngepot terus! Metromininya sampe miring-miring kayak mau ambruk. Ditambah lagi si supir nggak mau yang namanya dibalap sama metromini di belakangnya. Alhasil, gue dibawa kejar-kejaran sama si supir. Berasa lagi naik wahana ekstrim di Dufan loh. Sempat ada ibu-ibu sepantaran nenek gue yang marah-marah, Ibu-ibu itu protes gara-gara anaknya yang nangis karena daritadi si sopir ngebawa mobilnya kayak mau nganter penumpangnya ke akhirat. Tuh ibu-ibu marah-marah sama kenek metromininya, si kenek Cuma manggut-manggut.
Setelah cukup dibuat mabok oleh supir metromini, akhirnya gue sampai di Terminal Senen. Di Senen, gue lanjut lagi naik metromini 17, kali ini jalannya nyantai, nggak kebut-kebutan lagi.  Gue yang ternyata gagap sama yang namanya Jakarta, pesen ke keneknya, “Bang, kalau udah nyampe TIM, bilang, ya.” Haduh… malu gue. Dari brojol gue udah di Jakarta, jalan ke TIM aja kagak tau. Sampai akhirnya gue diturunin di pinggir jalan gitu aja sama si keneknya. Eh, nggak diturunin gitu aja sih. Si kenek ngasih arahan ke gue buat lanjut jalan lagi ke dalem, nanti juga ketemu TIMnya. Katanya gitu. Err… :D
                Gue celingak-celinguk ngeliatin gedung-gedung yang ada di sana, mana ya TIMnya… mana ya TIMnya … bener-bener keliatan blo’onnya. –“ sampai akhirnya gue temuin tempat yang keliatan familiar di mata gue, ah… akhirnya sampai. Gue pernah ke sini, Cuma waktu itu dianterinm eh sekalinya sendiri, keder. >,<
                Sampai di TIM, gue malah asyik ngejedog aja sendirian di depan tembok-tembok gitu, nyari tempat ngadem sekalian nunggu Kak Titis dateng. Abis waktu itu, yang gue bener-bener kenal cuma Kak Titis. Kalau gue masuk duluan, lah gue nggak berani.
                Lumayan lama nunggu dan Kak Titis belum juga dateng, tiba-tiba ada orang yangngelambai-lambain tangan ke gue. Gue yang pada saat itu nggak pakai kacamata, bener-bener nggak ngeh dan ngenalin orang itu, dan ternyata… dia Kak Pilo. Ya ampun. >< gue dipanggil sama Kak Pilo buat ngumpul di deket tukang ketoprak (kalau nggak salah, ya?) di san ague ketemu sama Kak Lina Hardianti dan Kak Ari Keling. Waw …! Gue gak pernah ketemu sama mereka sebelumnya, akhirnya ketemu. :D

                Karena kelamaan nunggu juga, akhirnya gue, Kak Lina, Kak Pilo dan Kak Ari masuk ke dalem, di dalem kita papasan sama Mas Pekik. Sempet mejeng dulu sebentar di pintu masuk TIM itu, baru ke depan planetarium yang ternyata udah ada Mas Angri, Kak Eka dan adiknya di sana.  Nggak lama kemudian, Mbak Dela dateng dengan Mbak Yusi, dilanjut dengan Kak Titis dan Kak Mixe Chan, lalu Kak Jadoel, dan lainnya.  Intinya, kemarin itu ngaret banget. Huahaha. :D Jakarta… Jakarta.
                Cendolshow akhirnya dimulai. Oke, ini saat-saat paling menegangkan buat gue. Tau kenapa? Mau tau? Serius mau tau? Mau tau banget atau mau tau ajaaa? Hihihi. Intinya, gue tegang. Gila aja. Dengan dadakan banget Kak Pilo nyuruh gue buat membaca salah satu puisi karya Taufik Ismail, judulnya: Bagaimana Kalau.

Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.

Ini fotonyaaa waktu gue baca puisi.
Bisa bayangin gak, betapa malunya gue berdiri di situ? Yang bikin gue malu sebenernya karena di situ, gue berhadapan dengan orang-orang keren yang bukan awam lagi, gue takut salah atau gimana. Dan.... gue itu nggak pernah baca puisi dengan serius! >.< setiap ada materi membaca puisi di sekolah, gue sering banget memboloskan diri. Gue selalu komat-kamit dalam hati biar gue nama gue nggak kelihatan untuk sementara di daftar absen. Gue nggak bisa baca puisi >O<


Tapi kemarin, berkat paksaan dari Kak Pilo, akhirnya gue berani. Sebelum baca, gue natap wajah Mbak Dela, Bunda Shinta, Kak Natta, dan yang lainnya. Ya ampun... gue nggak pernah mau baca puisi di sekolah, sekarang harus ngebacain puisi di depan mereka. :') Makasih Kak Pilo. Maaf, aku beberapa kali salah baca puisinya. Nervous, euy.

Acara selanjutnya itu, monolog dari Kak Titis. Ah, ini keren banget! Cara Kak Titis bermonolog sebagai ibunya Malin Kundang itu bener-bener bikin merinding.

Dilanjutkan dengan pembacaan cerpen tanpa narasi, pembacaan puisi oleh Kak Nattalia Desimoro dan Kak Pilo, ada Momsky Divin juga yang baca puisi di sana. Keren! Aku banyak belajar, Momsky Divin juga berbagi tips-tips untuk membaca puisi. Tak lupa juga, ada stand up comedy dari Kak Bekti dan Story Telling dari Bang Jadoel. Berikutt foto-fotonyaaa.... ^^


Kak Natta membacakan Puisi

Kak Ari membacakan Cerpen tanpa narasi

Kak Pilo membacakan Puisi

Kak Bekti Stand Up Comedy

Kak Jadoel Story Telling :D

Dan yang paling spektakuler .....
Momsky Divin membacakan puisi
 

Rame-rame ^.^
Sama ondel-ondel. ^^

Sampai ketemu lagi Kakak-kakak ... :D

Jakarta, 11 Juni 2012. 
Putee Sarapes ^.^

Jumat, 01 Juni 2012

Rinduku Berakhir (cermin)

Aku hampir sampai pada salah satu cabang yang cukup besar di pohon ini. Tak peduli dengan cabang lain yang hampir patah saat kupijaki. Pohon tua yang berdiri kokoh, tepat berada satu meter saja di luar pagar pembatas sekolah, bisa dengan mudah kupanjat dengan bantuan tangga yang telah disediakan anak-anak nakal yang suka membolos sekolah. Hap!
Tepat di atas sini, ketika aku memandangi gumpalan awan putih yang menggeliat lucu di atas langit. Tepat di atas sini, ketika aku meniup permen karetku dan memecahnya hingga menutupi sebagian wajahku. Tepat di atas sini, ketika aku, mengukir namanya, sepuluh tahun silam.
            Entah untuk ke berapa kalinya aku menangis. Tak peduli dengan puluhan semut yang berlalu-lalang di sekitarku, memandang seolah aku adalah pengganggu dalam kehidupannya. Kembali kuseka air mataku, dan dapat kupastikan wajah tembamku kini telah memerah.
            “Tulisanmu jelek.”
            Aku tersenyum, membayangkan kembali wajahnya sepuluh tahun lalu saat mengomentari hasil tanganku ini.
“Kamu yang jelek! Apa-apaan?! Katamu waktu itu kita teman! Tapi kamu malah pergi. Jeleeekkk!” aku memukul-mukul batang pohon itu , seperti anak kecil yang direbut mainannya.
            “Berisik!”
            Pukulanku terhenti pada ukiran itu, pandanganku mengedar ke sekitar, kosong. Aku mulai merinding.
            “Aku di atasmu, bodoh.”
            Aku mendongak, kulihat seorang cowok berpakaian sama denganku di cabang yang lebih tinggi, dengan bantuan telapak tangan yang menutupi sebagian mataku karena silau.
            “Tangisanmu sama sekali tidak merdu. Berhenti menangis, atau, pergilah sana,”
            Mata bulatku melebar. Enak saja, dia pikir, dia siapa?
            “Aku penghuni pohon ini. Pergi atau aku akan menerkammu.” Lanjutnya, aku tertawa.
            “Kamu pikir aku bodoh? Aku yang lebih lama tahu tempat ini!”
            Kulihat alis tebalnya bertaut.
            “Kau gila? Aku ini kakak kelasmu, aku lebih lama ada di tempat ini. Aku bahkan belum pernah melihatmu.”
            Hah? Tahu darimana kalau aku adik kelasnya? Dasar sok tahu!
            “Aku lihat nametag yang kaupakai, bodoh.”
Seperti belum puas membuatku kagum, kini cowok itu turun dengan lincah dan menyejajarkan tubuhnya di cabang yang kupijaki.
            “Tunggu, tunggu! Hei, justru aku yang belum pernah melihatmu! Kamu siapa?”
            Cowok itu tertawa. “Jadi maksudmu, kamu berbicara dengan hantu? Oh, masalah penunggu pohon, itu hanya lelucon,” jawabnya. Aku menggaruk pelipisku, kesal.
            “Kok berhenti nangisnya?”
            “Hei, jawab dulu!”
            “Baiklah, aku akan kembali tidur.”
            “Heeeiii!”
Hening. Cowok itu memandangku sinis, entah apa. Saat aku sadar, tanganku sedang melingkar di lengannya.
            “Maaf.”
            “Sampai sekarang aku masih heran, siapa yang mengukir namaku di atas sini. Aku tidak tahu namanya, wajahnya saja aku lupa. Tapi aku yakin, Yoo di sini, adalah aku,”
            Bola mataku melebar, aku memandang wajah cowok itu, tapi dia membuang muka.
            “Tapi yang jelas, wajahnya itu jelek sekali, tembam dan putih. Hah, aku tidak suka cewek berkulit putih,”
            “Kecuali dia,” kini, dia yang memandangku. Aku meringis, bingung.
            “Hahaha. Aku selalu nunggu kamu, tahu. Kemana saja?”
***