Jumat, 01 Juni 2012

Rinduku Berakhir (cermin)

Aku hampir sampai pada salah satu cabang yang cukup besar di pohon ini. Tak peduli dengan cabang lain yang hampir patah saat kupijaki. Pohon tua yang berdiri kokoh, tepat berada satu meter saja di luar pagar pembatas sekolah, bisa dengan mudah kupanjat dengan bantuan tangga yang telah disediakan anak-anak nakal yang suka membolos sekolah. Hap!
Tepat di atas sini, ketika aku memandangi gumpalan awan putih yang menggeliat lucu di atas langit. Tepat di atas sini, ketika aku meniup permen karetku dan memecahnya hingga menutupi sebagian wajahku. Tepat di atas sini, ketika aku, mengukir namanya, sepuluh tahun silam.
            Entah untuk ke berapa kalinya aku menangis. Tak peduli dengan puluhan semut yang berlalu-lalang di sekitarku, memandang seolah aku adalah pengganggu dalam kehidupannya. Kembali kuseka air mataku, dan dapat kupastikan wajah tembamku kini telah memerah.
            “Tulisanmu jelek.”
            Aku tersenyum, membayangkan kembali wajahnya sepuluh tahun lalu saat mengomentari hasil tanganku ini.
“Kamu yang jelek! Apa-apaan?! Katamu waktu itu kita teman! Tapi kamu malah pergi. Jeleeekkk!” aku memukul-mukul batang pohon itu , seperti anak kecil yang direbut mainannya.
            “Berisik!”
            Pukulanku terhenti pada ukiran itu, pandanganku mengedar ke sekitar, kosong. Aku mulai merinding.
            “Aku di atasmu, bodoh.”
            Aku mendongak, kulihat seorang cowok berpakaian sama denganku di cabang yang lebih tinggi, dengan bantuan telapak tangan yang menutupi sebagian mataku karena silau.
            “Tangisanmu sama sekali tidak merdu. Berhenti menangis, atau, pergilah sana,”
            Mata bulatku melebar. Enak saja, dia pikir, dia siapa?
            “Aku penghuni pohon ini. Pergi atau aku akan menerkammu.” Lanjutnya, aku tertawa.
            “Kamu pikir aku bodoh? Aku yang lebih lama tahu tempat ini!”
            Kulihat alis tebalnya bertaut.
            “Kau gila? Aku ini kakak kelasmu, aku lebih lama ada di tempat ini. Aku bahkan belum pernah melihatmu.”
            Hah? Tahu darimana kalau aku adik kelasnya? Dasar sok tahu!
            “Aku lihat nametag yang kaupakai, bodoh.”
Seperti belum puas membuatku kagum, kini cowok itu turun dengan lincah dan menyejajarkan tubuhnya di cabang yang kupijaki.
            “Tunggu, tunggu! Hei, justru aku yang belum pernah melihatmu! Kamu siapa?”
            Cowok itu tertawa. “Jadi maksudmu, kamu berbicara dengan hantu? Oh, masalah penunggu pohon, itu hanya lelucon,” jawabnya. Aku menggaruk pelipisku, kesal.
            “Kok berhenti nangisnya?”
            “Hei, jawab dulu!”
            “Baiklah, aku akan kembali tidur.”
            “Heeeiii!”
Hening. Cowok itu memandangku sinis, entah apa. Saat aku sadar, tanganku sedang melingkar di lengannya.
            “Maaf.”
            “Sampai sekarang aku masih heran, siapa yang mengukir namaku di atas sini. Aku tidak tahu namanya, wajahnya saja aku lupa. Tapi aku yakin, Yoo di sini, adalah aku,”
            Bola mataku melebar, aku memandang wajah cowok itu, tapi dia membuang muka.
            “Tapi yang jelas, wajahnya itu jelek sekali, tembam dan putih. Hah, aku tidak suka cewek berkulit putih,”
            “Kecuali dia,” kini, dia yang memandangku. Aku meringis, bingung.
            “Hahaha. Aku selalu nunggu kamu, tahu. Kemana saja?”
***
                                  

2 komentar:

wisnu murti mengatakan...

dijaikan novel bagus :)

Putri Eka Pertiwi mengatakan...

terimakasih sudah mau baca. :) tapi aku belum bisa konsisten kalau untuk novel, mungkin lain waktu. :D