OBSESI CINTA
Pandangan pertama, awal aku berjumpaaa … Jeng jeng jeng jeng jeng jeng …!
Pandangan pertamaa, awal aku berjumpaaa …
Refleks aku menutup kedua telingaku, mengangkat kacamata dan menatapnya dengan sinis. Sudah puluhan kali aku mendengar lagu dangdut yang dipopulerkan oleh band Slank berduet dengan aktris Nirina Zubir itu didendangkan Shilla. Dia memang memiliki suara yang sangat tidak merdu, aku sampai bosan dan ingin menyumpal mulutnya dengan kaus kaki milik Daud, teman sekelas kami yang mengaku tidak pernah mencuci kaus kakinya.
“Dia ganteng banget, Ka! Mukanya bersih tanpa jerawat, komedo juga nggak ada, eh, apa nggak kelihatan ya? Umm, matanya tajam menantang! Alisnya rapi, hidungnya mancung, bibirnya lucu, merah gitu! Pasti nggak ngerokok. Pas lewat di sebelahnya, beuh, wangi! Mana tadi deket banget. Haduh, Ka, kepikiran terus nih. Itu cowok menggugah selera banget. Aaa …”
Aku memilih untuk mengulum permen karet ketimbang mendengar Shilla bercerita tentang lelaki yang ditemuinya kemarin sore. Shilla, shilla ... Gampang banget sih jatuh cinta?
“Bantuin gue ngedeketin dia, ya, Ka? Please …” pinta Shilla penuh harap. Melihatku yang membuang muka, dia memindahkan posisi duduk, kepalanya dimiring-miringkan di depan wajahku.
“Ayo lah, Ka? Masa lo tega liat gue ngegalauin Sandy terus? Ya, Ka, ya? Siapa tahu dia cinta terakhir gue …,”
Selalu … Setiap Shilla suka sama cowok, dia selalu bilang, “ayo lah, Ka. Bantuin gue, gue yakin dia cinta terakhir gue. Gue ngerasa tuh udah cocok banget sama dia!”
Gubrak!
“Ka …?” hampir saja semangkuk bakso panas melayang ke wajah Shilla, saat mendapati wajahnya ada di depanku.
“Shill! Nggak mesti bikin gue jantungan dulu kali.”
Shilla terkekeh geli, lantas kembali memelas. Bibirnya yang mungil dikerucutkan. Aku akui, dilihat dari mana pun Shilla memang cantik. Wajahnya tembam menggemaskan dengan rambut digerai membuatnya terlihat sempurna. Sayang, sifatnya yang polos membuatnya gampang diperdaya cowok. Shillanya sih, kepincut setiap ngeliat yang bening dikit. Kalau kata Shilla, jatuh cinta pada pandangan pertama itu adalah cinta yang sesungguhnya. Apaan?! Buktinya dia disakitin terus! Bahkan menurutku, Shilla belum mengerti arti cinta sesungguhnya.
“Bantuin ya, Ka? Ya …?
“Emang serius suka, Shill? Paling cuma naksir sesaat doang?” mataku menatap ke arah Shilla.
“Nggak kok. Percaya deh, yang kali ini pasti langgeng! Kalau berhasil, nanti gue cariin cewek buat lo. Gimana? Mau kan?”
Aku menghela. Lagi-lagi Shilla berkata begitu, mencarikanku cewek? Aku belum butuh, selama … ah, lupakan.
Aku menatap sepasang manik hitam di wajah Shilla yang menunggu jawabanku. Segitunya ya obsesi dia buat ngedapetin cowok? Pikirku sarkatis.
“Iya. Tapi cara ngedeketinnya jangan aneh-aneh, ya? Lo mah suka aneh-aneh …”
Masih kuingat saat Shilla memintaku untuk memberikan surat cinta dan cokelat pada kakak kelas yang dia taksir saat SMP, sebut saja Kak Tora. Karena waktu itu kakak kelas yang kucari sedang tidak hadir, Shilla memaksa untuk memberikannya hari itu juga. Kalo dikasihnya besok, nanti basi! Katanya. Dengan bodoh aku menurut, kutitipkan surat dan cokelat itu ke Kak Hanna, seorang yang kuketahui teman dekat sekaligus tetangganya Kak Tora. Ternyata, sudah sebulan yang lalu Kak Hanna jadian dengan Kak Tora. Oh, ya ampun, saat itu aku merasa menjadi spesies aneh yang memberikan surat cinta untuk laki-laki melalui pacarnya sendiri. Sejak saat itu aku dijuluki Si Pecin, alias Pejuang Cinta. Masih untung mereka tidak menjulukiku sebagai Manusia Homo karena memberikan surat cinta untuk laki-laki.
“Iyaa, Raka. Thanks, ya! Hihihi,” seperti biasa Shilla memelukku.
“Untung aja gue gampang jatuh cinta, ya. Jadi nggak lama-lama deh ngegalaunya, emang elo? Pacar aja nggak pernah punya! Hahaha.”
Aku mendelik, mendengar kata ‘emang elo’ yang sepertinya tertuju jelas padaku
“Hih, biarin. Daripada elo, gampang jatuh cinta, gampang disakitin juga, hahaha.” Kali ini gantian Shilla yang merengut. Sepersekian detik, ekspresi wajahnya berubah lagi.
“Jangan nyanyi lagi di depan gue! Kalau nggak, gue nggak mau bantu.”
Shilla mengedikkan bahu, melangkah mundur, menjauh dari tempatnya tadi duduk. Lantas tersenyum jahil.
“Pandangan pertama, awal aku berjumpaaa …”
“SHILLA …!”
***
“Alvinno Saputra, 16 tahun, remaja. Sekolah di SMA Yadika, kelas 2 IPS 3.” Aku menghentikan penjelasanku saat melihat Shilla duduk serius memperhatikanku di kantin sepulang sekolah.
“Lagi dong! Itu aja?”
“Suka main futsal sambil kayang dan lari-lari bawa galon.” Lanjutku, lalu tertawa keras-keras.
“Rakaa, seriuss!” Shilla memukuli bahuku gemas, aku tambah tergelak melihat ekspresi jengkelnya.
Aku mendengus. “Udah, itu aja. Mau apaan lagi sih emangnya?” jawabku jutek, yang sepertinya membuat Shilla kecewa.
“Oh iya, dia sebentar lagi ulang tahun.” Imbuhku kemudian. Seketika bola mata Shilla berbinar, dia mencengkram kedua bahuku kuat-kuat.
“Serius, Ka? Beneran? Nggak bohong? Asyiiik … aku bisa kasih sesuatu buat dia. Hihihi. Kapan ulang tahunnya, Ka? Tanggal berapa? Hari apa?” Shilla bertanya antusias, aku mencibir kepadanya.
“Tanggal 5 April,” jawabku. “itu besok, lho.”
Saat itu juga senyum Shilla mengembang, wajahnya yang bersih tanpa noda membuatku kikuk sendiri.
“Shill, kenapa sih?”
Tiba-tiba Shilla berdiri, ditariknya pergelangan tanganku dengan semangat. Aku menatap wajahnya dengan bingung.
Shilla menyengir lebar, giginya yang berjejer rapi terlihat dari balik bibir ranumnya.
“Anterin beli kado, ya, Ka. Lo kan cowok, pasti ngerti gimana-gimananya, iya, kan?”
Tanpa benar-benar peduli, aku menyejajarkan langkahku dengannya. Menatap langkah Shilla bersemangat. Bersamaan dengan itu, seperti ada pukulan yang bertalu-talu di dalam dadaku. Entah apa.
***
“Yang hijau atau putih, ya, Ka? Hmm …” lamunanku buyar. Tersentak ketika Shilla menyodorkan kedua barang yang sama dengan warna berbeda itu di depan wajahku. Aku lantas menoleh ke Shilla, mencubit pipinya dengan ekspresi kesal.
“Seneng banget ngagetin sih, hah?”
Shilla melongo, dengan gerakan cepat tangannya menoyor kepalaku.
“Ye, siapa yang ngagetin? Lagian siapa suruh bengong. Mikirin apa, sih? Mending jawab nih, warna hijau, apa putih?” Shilla menegaskan lagi pertanyaannya. Dahiku berkerut.
“Yang putih aja.” Jawabku acuh tak acuh.
Shilla menggigit bibirnya, seperti berpikir.
“Nanti cepet kotor, nggak? Kan buat main bola, Ka?”
“Ya udah, yang hijau aja.” Jawabku, alis Shilla naik sebelah.
“Tapi hijaunya butek. Yang hitam aja apa, ya? Keren!”
“Nah, hitam keren.”
Dahi Shilla mengernyit. “Tapi nanti dia kira hitam itu melambangkan hati aku, lagi? Ntar dia pikir aku ini seorang cewek yang menyukai dunia hitam? Aah, nggak jadi deh. Yang putih aja, ya? Mas, bungkusin yang putih yaaa …”
Aku menggeleng melihat tingkah Shilla yang menggemaskan, lalu menoleh ke suatu arah, sepersekian detik kemudian, aku terbelalak, menemukan sosok berseragam putih abu-abu tengah berjalan tak jauh dari tempatku berdiri. Cowok itu sempat menatapku sebentar lalu merangkul seseorang yang sedang berjalan beriringan dengannya. Mataku terus mengikuti sampai ia mengambil tempat dan duduk di salah satu pusat. Sedetik kemudian aku sadar, dia kan …?
“Raka! Ayo pulang, udah dapet nih. Keren, deh! Besok gue bakal nyamperin dia, ah, bilang selamat ulang tahun! Masih ingat gue? Itu loh, yang waktu itu dibantuin di halte bus! Ingat, kan? Ini, hadiah buat lo! Hehehe … terima, ya! Begitu, Ka. Aneh nggak?” cerocos Shilla panjang lebar, tangan kirinya digantungkan pada pundakku.
“Shill …” aku menyela pembicaraan Shilla, lalu memutar pandanganku ke arah lain. Lho? Dia kemana?
“Hmm, tenang aja, Ka. Besok gue kasih hadiahnya sendiri kok, tapi elo tetep ngawasin gue ya?”
“Tapi, Shill …,” ucapku menggantung. Bingung harus mengatakan ini atau tidak. Aku takut kalau apa yang kusangka ternyata tidak benar. Tapi melihat pemandangan seperti tadi, apa mungkin yang kupikirkan ini salah? Ah, aku tidak ingin melihat Shilla kecewa.
Shilla menyipitkan matanya, menungguku melanjutkan ucapanku barusan.
“Nggak, nggak jadi.”
***
Entah sudah ke sekian kali aku mondar-mandir di depan gerbang sekolah, mengikuti sesuatu yang sedari tadi menjadi perhatianku. Kegiatanku ini tak jarang membuat anak-anak lainnya memarahiku karena jalannya terhalangi. Di sela ranting pohon aku berdiri sekarang, tanpa sadar hidungku dijatuhkan semut rang-rang.
“Hoaaa ...!” aku berteriak lantang, melompat-lompat ketakutan. Sampai sesuatu menyadarkanku.
“Lo kenapa sih? Teriak-teriak gitu? Hahaha,” aku mendengus melihat Shilla terkikik karena kelakuanku tadi.
“Eh, Alvin jalan kemana?” tanya Shilla.
Aku mengarahkan telunjukku ke suatu sudut.
“Ayo cepetan, Raka!” Shilla menarik pergelangan tanganku, aku menatapnya pasrah.
***
Jalanku masih menunduk saat Shilla menghentikan langkahnya. Pegangannya pada tanganku dilepaskan, tubuhnya yang masih memakai seragam putih abu-abu merapat ke batang pohon.
“Dia udah punya cewek.” Ucapku. Pandanganku membuyar pada sosok lelaki yang baru saja menstater motornya dan tersenyum pada seorang cewek yang duduk di jok belakangnya.
“Dan lo nggak kasih tahu gue?” Tanya Shilla sinis, matanya menyipit.
“Tega, lo.”
“Shill …!”
Bergantian, kali ini aku yang meraih pergelangan tangannya. Air mata yang hampir tumpah membasahi wajah cantiknya kuusap dengan lembut.
“Kenapa nggak kasih tahu gue sih, Ka …?”
Ucapan Shilla menggantung, ia menatapku lekat-lekat. Tiba-tiba, tangannya dilepaskan, lantas mencoba pergi
Aku menunduk, menghela.
“Sesungguhnya dia ada di dekatmu …,”
“Tapi kau tak pernah menyadari itu …,”
Shilla menoleh, langkahnya terhenti. Aku tersenyum.
“Dia selalu menunggumu, untuk nyatakan cinta …”
Shilla kembali melangkah mendekatiku, alisnya dinaikkan sebelah. Lantas mengerling lucu.
“Buat …?” tanyanya menggantung. Aku tersenyum.
“Elo,” jawabku. “Gue sayang sama lo, Shill. Kenapa nggak sadar-sadar sih?” aku menutup mulutku saat selesai berbicara. Aku berpikir baru saja melakukan hal bodoh, yang ternyata membuatku merasa lega. Shilla tersenyum. Aku menjawil dagunya, lantas tertawa bersama-sama.
I love you, Ashilla.
***
Pandangan pertama, awal aku berjumpaaa … Jeng jeng jeng jeng jeng jeng …!
Pandangan pertamaa, awal aku berjumpaaa …
Refleks aku menutup kedua telingaku, mengangkat kacamata dan menatapnya dengan sinis. Sudah puluhan kali aku mendengar lagu dangdut yang dipopulerkan oleh band Slank berduet dengan aktris Nirina Zubir itu didendangkan Shilla. Dia memang memiliki suara yang sangat tidak merdu, aku sampai bosan dan ingin menyumpal mulutnya dengan kaus kaki milik Daud, teman sekelas kami yang mengaku tidak pernah mencuci kaus kakinya.
“Dia ganteng banget, Ka! Mukanya bersih tanpa jerawat, komedo juga nggak ada, eh, apa nggak kelihatan ya? Umm, matanya tajam menantang! Alisnya rapi, hidungnya mancung, bibirnya lucu, merah gitu! Pasti nggak ngerokok. Pas lewat di sebelahnya, beuh, wangi! Mana tadi deket banget. Haduh, Ka, kepikiran terus nih. Itu cowok menggugah selera banget. Aaa …”
Aku memilih untuk mengulum permen karet ketimbang mendengar Shilla bercerita tentang lelaki yang ditemuinya kemarin sore. Shilla, shilla ... Gampang banget sih jatuh cinta?
“Bantuin gue ngedeketin dia, ya, Ka? Please …” pinta Shilla penuh harap. Melihatku yang membuang muka, dia memindahkan posisi duduk, kepalanya dimiring-miringkan di depan wajahku.
“Ayo lah, Ka? Masa lo tega liat gue ngegalauin Sandy terus? Ya, Ka, ya? Siapa tahu dia cinta terakhir gue …,”
Selalu … Setiap Shilla suka sama cowok, dia selalu bilang, “ayo lah, Ka. Bantuin gue, gue yakin dia cinta terakhir gue. Gue ngerasa tuh udah cocok banget sama dia!”
Gubrak!
“Ka …?” hampir saja semangkuk bakso panas melayang ke wajah Shilla, saat mendapati wajahnya ada di depanku.
“Shill! Nggak mesti bikin gue jantungan dulu kali.”
Shilla terkekeh geli, lantas kembali memelas. Bibirnya yang mungil dikerucutkan. Aku akui, dilihat dari mana pun Shilla memang cantik. Wajahnya tembam menggemaskan dengan rambut digerai membuatnya terlihat sempurna. Sayang, sifatnya yang polos membuatnya gampang diperdaya cowok. Shillanya sih, kepincut setiap ngeliat yang bening dikit. Kalau kata Shilla, jatuh cinta pada pandangan pertama itu adalah cinta yang sesungguhnya. Apaan?! Buktinya dia disakitin terus! Bahkan menurutku, Shilla belum mengerti arti cinta sesungguhnya.
“Bantuin ya, Ka? Ya …?
“Emang serius suka, Shill? Paling cuma naksir sesaat doang?” mataku menatap ke arah Shilla.
“Nggak kok. Percaya deh, yang kali ini pasti langgeng! Kalau berhasil, nanti gue cariin cewek buat lo. Gimana? Mau kan?”
Aku menghela. Lagi-lagi Shilla berkata begitu, mencarikanku cewek? Aku belum butuh, selama … ah, lupakan.
Aku menatap sepasang manik hitam di wajah Shilla yang menunggu jawabanku. Segitunya ya obsesi dia buat ngedapetin cowok? Pikirku sarkatis.
“Iya. Tapi cara ngedeketinnya jangan aneh-aneh, ya? Lo mah suka aneh-aneh …”
Masih kuingat saat Shilla memintaku untuk memberikan surat cinta dan cokelat pada kakak kelas yang dia taksir saat SMP, sebut saja Kak Tora. Karena waktu itu kakak kelas yang kucari sedang tidak hadir, Shilla memaksa untuk memberikannya hari itu juga. Kalo dikasihnya besok, nanti basi! Katanya. Dengan bodoh aku menurut, kutitipkan surat dan cokelat itu ke Kak Hanna, seorang yang kuketahui teman dekat sekaligus tetangganya Kak Tora. Ternyata, sudah sebulan yang lalu Kak Hanna jadian dengan Kak Tora. Oh, ya ampun, saat itu aku merasa menjadi spesies aneh yang memberikan surat cinta untuk laki-laki melalui pacarnya sendiri. Sejak saat itu aku dijuluki Si Pecin, alias Pejuang Cinta. Masih untung mereka tidak menjulukiku sebagai Manusia Homo karena memberikan surat cinta untuk laki-laki.
“Iyaa, Raka. Thanks, ya! Hihihi,” seperti biasa Shilla memelukku.
“Untung aja gue gampang jatuh cinta, ya. Jadi nggak lama-lama deh ngegalaunya, emang elo? Pacar aja nggak pernah punya! Hahaha.”
Aku mendelik, mendengar kata ‘emang elo’ yang sepertinya tertuju jelas padaku
“Hih, biarin. Daripada elo, gampang jatuh cinta, gampang disakitin juga, hahaha.” Kali ini gantian Shilla yang merengut. Sepersekian detik, ekspresi wajahnya berubah lagi.
“Jangan nyanyi lagi di depan gue! Kalau nggak, gue nggak mau bantu.”
Shilla mengedikkan bahu, melangkah mundur, menjauh dari tempatnya tadi duduk. Lantas tersenyum jahil.
“Pandangan pertama, awal aku berjumpaaa …”
“SHILLA …!”
***
“Alvinno Saputra, 16 tahun, remaja. Sekolah di SMA Yadika, kelas 2 IPS 3.” Aku menghentikan penjelasanku saat melihat Shilla duduk serius memperhatikanku di kantin sepulang sekolah.
“Lagi dong! Itu aja?”
“Suka main futsal sambil kayang dan lari-lari bawa galon.” Lanjutku, lalu tertawa keras-keras.
“Rakaa, seriuss!” Shilla memukuli bahuku gemas, aku tambah tergelak melihat ekspresi jengkelnya.
Aku mendengus. “Udah, itu aja. Mau apaan lagi sih emangnya?” jawabku jutek, yang sepertinya membuat Shilla kecewa.
“Oh iya, dia sebentar lagi ulang tahun.” Imbuhku kemudian. Seketika bola mata Shilla berbinar, dia mencengkram kedua bahuku kuat-kuat.
“Serius, Ka? Beneran? Nggak bohong? Asyiiik … aku bisa kasih sesuatu buat dia. Hihihi. Kapan ulang tahunnya, Ka? Tanggal berapa? Hari apa?” Shilla bertanya antusias, aku mencibir kepadanya.
“Tanggal 5 April,” jawabku. “itu besok, lho.”
Saat itu juga senyum Shilla mengembang, wajahnya yang bersih tanpa noda membuatku kikuk sendiri.
“Shill, kenapa sih?”
Tiba-tiba Shilla berdiri, ditariknya pergelangan tanganku dengan semangat. Aku menatap wajahnya dengan bingung.
Shilla menyengir lebar, giginya yang berjejer rapi terlihat dari balik bibir ranumnya.
“Anterin beli kado, ya, Ka. Lo kan cowok, pasti ngerti gimana-gimananya, iya, kan?”
Tanpa benar-benar peduli, aku menyejajarkan langkahku dengannya. Menatap langkah Shilla bersemangat. Bersamaan dengan itu, seperti ada pukulan yang bertalu-talu di dalam dadaku. Entah apa.
***
“Yang hijau atau putih, ya, Ka? Hmm …” lamunanku buyar. Tersentak ketika Shilla menyodorkan kedua barang yang sama dengan warna berbeda itu di depan wajahku. Aku lantas menoleh ke Shilla, mencubit pipinya dengan ekspresi kesal.
“Seneng banget ngagetin sih, hah?”
Shilla melongo, dengan gerakan cepat tangannya menoyor kepalaku.
“Ye, siapa yang ngagetin? Lagian siapa suruh bengong. Mikirin apa, sih? Mending jawab nih, warna hijau, apa putih?” Shilla menegaskan lagi pertanyaannya. Dahiku berkerut.
“Yang putih aja.” Jawabku acuh tak acuh.
Shilla menggigit bibirnya, seperti berpikir.
“Nanti cepet kotor, nggak? Kan buat main bola, Ka?”
“Ya udah, yang hijau aja.” Jawabku, alis Shilla naik sebelah.
“Tapi hijaunya butek. Yang hitam aja apa, ya? Keren!”
“Nah, hitam keren.”
Dahi Shilla mengernyit. “Tapi nanti dia kira hitam itu melambangkan hati aku, lagi? Ntar dia pikir aku ini seorang cewek yang menyukai dunia hitam? Aah, nggak jadi deh. Yang putih aja, ya? Mas, bungkusin yang putih yaaa …”
Aku menggeleng melihat tingkah Shilla yang menggemaskan, lalu menoleh ke suatu arah, sepersekian detik kemudian, aku terbelalak, menemukan sosok berseragam putih abu-abu tengah berjalan tak jauh dari tempatku berdiri. Cowok itu sempat menatapku sebentar lalu merangkul seseorang yang sedang berjalan beriringan dengannya. Mataku terus mengikuti sampai ia mengambil tempat dan duduk di salah satu pusat. Sedetik kemudian aku sadar, dia kan …?
“Raka! Ayo pulang, udah dapet nih. Keren, deh! Besok gue bakal nyamperin dia, ah, bilang selamat ulang tahun! Masih ingat gue? Itu loh, yang waktu itu dibantuin di halte bus! Ingat, kan? Ini, hadiah buat lo! Hehehe … terima, ya! Begitu, Ka. Aneh nggak?” cerocos Shilla panjang lebar, tangan kirinya digantungkan pada pundakku.
“Shill …” aku menyela pembicaraan Shilla, lalu memutar pandanganku ke arah lain. Lho? Dia kemana?
“Hmm, tenang aja, Ka. Besok gue kasih hadiahnya sendiri kok, tapi elo tetep ngawasin gue ya?”
“Tapi, Shill …,” ucapku menggantung. Bingung harus mengatakan ini atau tidak. Aku takut kalau apa yang kusangka ternyata tidak benar. Tapi melihat pemandangan seperti tadi, apa mungkin yang kupikirkan ini salah? Ah, aku tidak ingin melihat Shilla kecewa.
Shilla menyipitkan matanya, menungguku melanjutkan ucapanku barusan.
“Nggak, nggak jadi.”
***
Entah sudah ke sekian kali aku mondar-mandir di depan gerbang sekolah, mengikuti sesuatu yang sedari tadi menjadi perhatianku. Kegiatanku ini tak jarang membuat anak-anak lainnya memarahiku karena jalannya terhalangi. Di sela ranting pohon aku berdiri sekarang, tanpa sadar hidungku dijatuhkan semut rang-rang.
“Hoaaa ...!” aku berteriak lantang, melompat-lompat ketakutan. Sampai sesuatu menyadarkanku.
“Lo kenapa sih? Teriak-teriak gitu? Hahaha,” aku mendengus melihat Shilla terkikik karena kelakuanku tadi.
“Eh, Alvin jalan kemana?” tanya Shilla.
Aku mengarahkan telunjukku ke suatu sudut.
“Ayo cepetan, Raka!” Shilla menarik pergelangan tanganku, aku menatapnya pasrah.
***
Jalanku masih menunduk saat Shilla menghentikan langkahnya. Pegangannya pada tanganku dilepaskan, tubuhnya yang masih memakai seragam putih abu-abu merapat ke batang pohon.
“Dia udah punya cewek.” Ucapku. Pandanganku membuyar pada sosok lelaki yang baru saja menstater motornya dan tersenyum pada seorang cewek yang duduk di jok belakangnya.
“Dan lo nggak kasih tahu gue?” Tanya Shilla sinis, matanya menyipit.
“Tega, lo.”
“Shill …!”
Bergantian, kali ini aku yang meraih pergelangan tangannya. Air mata yang hampir tumpah membasahi wajah cantiknya kuusap dengan lembut.
“Kenapa nggak kasih tahu gue sih, Ka …?”
Ucapan Shilla menggantung, ia menatapku lekat-lekat. Tiba-tiba, tangannya dilepaskan, lantas mencoba pergi
Aku menunduk, menghela.
“Sesungguhnya dia ada di dekatmu …,”
“Tapi kau tak pernah menyadari itu …,”
Shilla menoleh, langkahnya terhenti. Aku tersenyum.
“Dia selalu menunggumu, untuk nyatakan cinta …”
Shilla kembali melangkah mendekatiku, alisnya dinaikkan sebelah. Lantas mengerling lucu.
“Buat …?” tanyanya menggantung. Aku tersenyum.
“Elo,” jawabku. “Gue sayang sama lo, Shill. Kenapa nggak sadar-sadar sih?” aku menutup mulutku saat selesai berbicara. Aku berpikir baru saja melakukan hal bodoh, yang ternyata membuatku merasa lega. Shilla tersenyum. Aku menjawil dagunya, lantas tertawa bersama-sama.
I love you, Ashilla.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar