Aku
hampir sampai pada salah satu cabang yang cukup besar di pohon ini. Tak peduli
dengan cabang lain yang hampir patah saat kupijaki. Pohon tua yang berdiri
kokoh, tepat berada satu meter saja di luar pagar pembatas sekolah, bisa dengan
mudah kupanjat dengan bantuan tangga yang telah disediakan anak-anak nakal yang
suka membolos sekolah. Hap!
Tepat
di atas sini, ketika aku memandangi gumpalan awan putih yang menggeliat lucu di
atas langit. Tepat di atas sini, ketika aku meniup permen karetku dan
memecahnya hingga menutupi sebagian wajahku. Tepat di atas sini, ketika aku,
mengukir namanya, sepuluh tahun silam.
Entah untuk ke berapa kalinya aku menangis. Tak peduli
dengan puluhan semut yang berlalu-lalang di sekitarku, memandang seolah aku adalah
pengganggu dalam kehidupannya. Kembali kuseka air mataku, dan dapat kupastikan
wajah tembamku kini telah memerah.
“Tulisanmu jelek.”
Aku tersenyum, membayangkan kembali wajahnya sepuluh
tahun lalu saat mengomentari hasil tanganku ini.
“Kamu
yang jelek! Apa-apaan?! Katamu waktu itu kita teman! Tapi kamu malah pergi. Jeleeekkk!”
aku memukul-mukul batang pohon itu , seperti anak kecil yang direbut mainannya.
“Berisik!”
Pukulanku terhenti pada ukiran itu, pandanganku mengedar
ke sekitar, kosong. Aku mulai merinding.
“Aku di atasmu, bodoh.”
Aku mendongak, kulihat seorang cowok berpakaian sama
denganku di cabang yang lebih tinggi, dengan bantuan telapak tangan yang
menutupi sebagian mataku karena silau.
“Tangisanmu sama sekali tidak merdu. Berhenti menangis,
atau, pergilah sana,”
Mata bulatku melebar. Enak saja, dia pikir, dia siapa?
“Aku penghuni pohon ini. Pergi atau aku akan menerkammu.”
Lanjutnya, aku tertawa.
“Kamu pikir aku bodoh? Aku yang lebih lama tahu tempat
ini!”
Kulihat alis tebalnya bertaut.
“Kau gila? Aku ini kakak kelasmu, aku lebih lama ada di
tempat ini. Aku bahkan belum pernah melihatmu.”
Hah? Tahu darimana kalau aku adik kelasnya? Dasar sok
tahu!
“Aku lihat nametag yang kaupakai, bodoh.”
Seperti
belum puas membuatku kagum, kini cowok itu turun dengan lincah dan
menyejajarkan tubuhnya di cabang yang kupijaki.
“Tunggu, tunggu! Hei, justru aku yang belum pernah
melihatmu! Kamu siapa?”
Cowok itu tertawa. “Jadi maksudmu, kamu berbicara dengan
hantu? Oh, masalah penunggu pohon, itu hanya lelucon,” jawabnya. Aku menggaruk
pelipisku, kesal.
“Kok berhenti nangisnya?”
“Hei, jawab dulu!”
“Baiklah, aku akan kembali tidur.”
“Heeeiii!”
Hening.
Cowok itu memandangku sinis, entah apa. Saat aku sadar, tanganku sedang
melingkar di lengannya.
“Maaf.”
“Sampai sekarang aku masih heran, siapa yang mengukir
namaku di atas sini. Aku tidak tahu namanya, wajahnya saja aku lupa. Tapi aku
yakin, Yoo di sini, adalah aku,”
Bola mataku melebar, aku memandang wajah cowok itu, tapi
dia membuang muka.
“Tapi yang jelas, wajahnya itu jelek sekali, tembam dan
putih. Hah, aku tidak suka cewek berkulit putih,”
“Kecuali dia,” kini, dia yang memandangku. Aku meringis,
bingung.
“Hahaha. Aku selalu nunggu kamu, tahu. Kemana saja?”
***
2 komentar:
dijaikan novel bagus :)
terimakasih sudah mau baca. :) tapi aku belum bisa konsisten kalau untuk novel, mungkin lain waktu. :D
Posting Komentar