KELABU
karya : Putri Eka Pertiwi
Pagi itu aku kembali terbangun, telingaku yang telah terbiasa dengan suara kumandang adzan subuh memang selalu cepat bereaksi. Bukan untuk beribadah sih, tapi untuk, emm, menunaikan kebiasaanku suka buang air kecil subuh-subuh.
Dengan bergegas aku turun dari pulau empukku, dan melangkah kecil ke kamar mandi. Langkahku terhenti, mendengar sebuah gumaman dari ruangan yang berada tepat di sebelah kamarku. Dari dalam, aku mendengar Ummi tengah memanjatkan do’a, kuintip sejenak, tubuhnya yang tak lagi muda sedang menunduk dengan beralaskan sajadah merah marun kesayangannya, seraya menengadahkan kedua tangannya yang terlihat mulai bergurat. Seketika bibirku bergerak, menyunggingkan senyuman kecil, tak lama, lalu kembali berlalu.
***
Ibu.
Sebuah
kata yang begitu menggetarkan. Tercetus haru, terdengar rindu. Dan
Ibuku- adalah sebutan yang terindah bila terlantun dari bibir-bibir
manusia. Kata yang penuh dengan cinta, kasih sayang, dan kerinduan yang
secara tulus terpancar. Sebagai pelindung, penuntun, serta cahaya bagi
siapapun yang membutuhkannya.
Kau segalanya, penegas lukaku di kala lara, merengkuhku dengan penuh cinta, dan kau buang sakitku, oleh belaian kasihmu.
***
"Ummi, malam ini kan malam tahun baru, aku mau ikut main sama teman-temanku. Minta uang, dong.” ucapku sambil mengolah menu sarapan dalam mulut, tanpa melihat ke arah Umi yang sedang susah payah mengangkat seember pakaian kotor dari kamarku.
Setelah meletakkan ember yang dibawanya, Ummi baru bereaksi.
“Uhuk. uhuk… Ehm. Mau main kemana? Bakar-bakar di depan rumah saja, kan?”
Aku mendengus, “Nggak lah, Mi. Aku mau jalan-jalan keluar. Selama ini kan aku belum pernah malam tahun baruan di luar. Boleh ya, Mi?”
Ummi masih belum menjawab, ia kembali sibuk mengurusi batuknya yang tak kunjung sembuh. Memegangi dadanya yang peyot tertutup untaian kain yang disebut jilbab. Uhuk-uhuk! Eerhhmm. Begitu terdengar.
“Mii, boleh ya? Udah sih boleh aja. Lagian aku juga ngapain di rumah? Ngurusin Umi mulu, bosan tau,”
Kulihat mata Ummi yang telah mulai memudar warnanya memandangku lemah. Sepertinya kaget dengan kata-kataku barusan. Aku masih menunggu jawaban Umi sambil mengambil lagi sepotong kue yang Umi siapkan untukku tiap pagi.
“Disini saja lah, apa bedanya sih tahun baru di luar sama di rumah? Sama-sama tahun baru, kan? Lagipula kamu masih kecil, masih 14 tahun. KTP saja belum punya. Nanti kalau terjadi apa-apa sama kamu, bagaimana?”
Tatapanku berubah sinis mendengar jawaban Ummi, lidahku berdecak kesal. Apaan sih, aku sudah besar! Aku sudah bisa mengatur diriku sendiri. Selama ini sudah cukup perhatian berlebih yang Ummi berikan padaku. Ditinggal Abi sejak kecil memang membuatku menjadi anak yang manja, dan sangat haus kasih sayang Ummi. Seseorang yang kupunya satu-satunya.
“Ummi juga lagi gak enak badan, Nduk. Uhuk! Kamu tho yo, yo…”
Aku berdiri, menghentakkan kakiku kesal. Lalu membentak Ummi keras. “Umi emang rese banget yah? Raissa sudah besar, Mi! Raissa juga butuh hiburan! Memang kerjaan Raissa cuma jagain Umi aja, apa? Raissa punya banyak teman!”
Ummi terjatuh, kakinya yang renta sepertinya terkejut dengan perkataanku dan tak tahan lagi menopang. Umi duduk di kursi makan, aku masih menatapnya kesal.
“Pokoknya aku mau ikut. Gak mungkin kan aku bilang sama mereka, alasanku gak ikut gara-gara gak boleh sama Ummi? Malu-maluin aja.”
Ummi memegangi dadanya, wajahnya terlihat sangat letih. Aku memutuskan berhenti bicara, melihat keadaan Umi seperti itu. Lantas berjalan cepat masuk ke kamar. Oh, ada yang terlupa.
“Aku minta uang,”
Umi menatapku lemah, cukup lama.
“Minta uang, Ummi… Ummi tega lihat anaknya nanti diejek sama teman-temannya gara-gara ikut jalan tapi gak punya uang?”
Ummi menghela napasnya panjang, lalu merogoh kantung dasternya yang using dan berwarna muda, maksudnya memudar. Mengeluarkan sebuah kain bertali dari sana.
“Sini, buat aku semua, ya?”
Mata Ummi terbelalak, aku tersenyum senang. “Jangan semua, nduk. Itu untuk makan kita sampai nanti malam, lho. Hari ini Ummi belum nyuci, jadi belum dapat uang.”
“Yaudah, kan belum, berarti bakal? Iya kan? Ummi berangkat kerja dong, biar bisa dapat uang.”
“Umi lagi nggak enak badan, nduk… mungkin nanti agak siangan.”
Aku menjulingkan mata, belagak.
“Ya kalau gitu gimana bisa dapat uang? Udah siang mana ada yang mau nitip cucian sih, Mi? haduh, lagian Ummi salah sendiri, kenapa harus jadi tukang cuci.”
Uhuk… Uhuk! Batuk Ummi terdengar semakin parau, aku berjingkat, dan memutuskan untuk masuk ke kamar.
“Raissa nanti siang berangkat ya, Mi? kalau Umi pulang kerja Raissa udah gak ada, berarti Raissa udah pergi.”
Kulihat tubuh Umi tiba-tiba bergetar hebat, seperti bergidik, hampir terlihat seperti kejang, namun hanya sebentar. Aku meringis, kenapa lagi dia? Lantas masuk ke kamar untuk tidur lagi.
***
Yihaa!
Malam tahun baru.
Aku yang sedang asyik bersenang-senang dengan teman-temanku ,tersenyum senang melihat percikan-percikan kembang api di atas langit malam berteriak kencang, beberapa ada yang meniup terompet tanda sambutan datangnya tahun baru. Aku yang baru sekali merasakan keramaian seperti ini hanya bisa ikut tertawa, memeriahkan pesta kembang api di puncak akhir tahun 2011.
Lama kelamaan percikan kembang api pun berkurang, hanya dari beberapa tempat saja yang masih berebutan menghiasi indahnya malam ini. Namun di tempatku sekarang, kembang apinya sudah habis, sepertinya.
Aku melihat jam digital yang bertengger di pergelangan tanganku, pukul 01.10. Wah, sudah dini hari ya? Pertama kalinya aku seperti ini. Haha. Aku senang sekali. Tak lama, aku merasakan seseorang merangkulku dari belakang. Aku berpikir dia salah satu temanku yang pergi bersamaku malam ini. Ternyata…
“Fauzi?” aku terperangah. Yang kusebut Fauzi tadi justru tersenyum.
“Hai, Sa. Tumben lo mau ikutan acara begini? Haha.” Ucapnya, sambil masih merangkulku. Aku bergeming.
“Emm, aku harus pulang.” Ucapku, mencoba melepaskan rangkulan Fauzi dari tubuhku yang terbuka. Ya, aku dipaksa teman-temanku memakai pakaian seperti itu. Sungguh, aku tidak pernah punya pakaian seperti ini.
“Gimana kalo lo ikut kita dulu?”
Aku menatap mereka sangsi.
“Kita minum-minum sebentar, pesta dikit lah… 2012, coy!”
Belum menjawab, aku hanya tersenyum, mengingat Umi yang pasti sudah mengkhawatirkan aku di rumah.
“Sebentar saja, masa udah sejauh ini, lo masih takut?”
Tanpa menunggu jawabanku, mereka menyeretku masuk ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. Tak jauh dari tempat kami melihat kembang api tadi. Aku ikut duduk. Beberapa diantara mereka menghisap rokok, dan menghembuskannya. Nikmat sekali kelihatannya, pikirku.
“Mau coba?” tawar seorang temanku seraya membuka bungkus rokoknya. Aku menggeleng pelan. Ia menyundutkan ujung rokoknya ke rokok yang baru saja dikeluarkan.
“Hisap deh, nikmat.” Perintahnya. Dengan enggan, namun penasaran, aku mulai menghisap. Ah, sesak.
“Uhuk… uhuk!”
Terbatuk, aku jadi ingat Umi di rumah.
“Pertamanya emang gitu, lama-lama juga nggak.” Ujar temanku lagi.
“Mau coba yang lebih ekstrim?”
Aku bertanya, “Apa?”
Temanku, Daina memberikanku segelas air putih. Oh, aku pikir apa yang ekstrim.
“Minum deh,”
Dengan percaya diri, aku meminum air putih yang tadi diberikan.
“Hoek! Ih, apaan nih, Dai? Bau! Yeak,” protesku. “Kayak bensin.”
Daina menggeleng, gemas, lalu menyodorkan kembali gelas berisi ‘air putih berbau bensin’ itu padaku. Aku berusaha menolak, namun sepertinya tak bisa mengelak.
***
Duniaku berputar. Entah dimana sekarang aku berada saat ini, sungguh, aku sama sekali tak bisa berpikir, semua terasa melayang-layang. Seingatku tadi aku bersama teman-temanku, dan… ah, iya. Mereka menurunkanku di pinggir jalan.
Sial. Pandanganku kabur-kaburan. Sedikit-sedikit aku melihat daerah sekitarku. Ada warung Mbok Sumi. Ini sudah dekat rumah! Hanya tinggal berjalan sedikit lagi saja, lumayan sih.
“Heaah…” desahku. Aroma napas yang kukeluarkan sangatlah tidak enak. Aku mual. Sekarang, semua yang kulihat hanyalah bayangan-bayangan kabur dan tidak jelas.
Masih berjalan tergopoh, aku bersyukur masih dapat mengingat jelas arah kerumahku. Ah, tapi pandanganku buyar semua. Tiba-tiba, aku melihat sebuah cahaya yang kuat bersinar dan menembus retinaku. Entah itu cahaya apa, namun telingaku yang masih berfungsi baik mendengar sebuah suara klakson mobil. Dan, teriakan.
BRUK…
Aku merasakan sakit yang luar biasa menimpa tubuhku. Bagaimana tidak? Tubuhku didorong sesuatu dengan tenaga yang sangat kuat sehingga aku terpental seperti ini. Persetan! Siapa yang mendorongku? Hah? Teriakku dalam hati, lalu membuka mataku lebar.
Kali ini aku dapat melihat dengan jelas! Yah, sangat jelas bahkan. Seseorang wanita renta sedang tiduran di tengah jalan, didampingi sebuah truk besar disampingnya, yang sepertinya sedang berusaha untuk kembali menancap gas. Ah, sepertinya dia tidak sedang tiduran, pelipisnya mengucurkan darah yang sangat banyak, mengalir deras sekali. Aku mendekatkan wajahku dengan tubuh renta itu, pandanganku kini mulai jelas, jelas, dan…
“UMMI…!”
***
“Ummi mengkhawatirkanmu, Nduk...”
Ucapnya parau di sela isakkanku. Aku mencoba berteriak, ingin sekali berteriak! Namun, saat itu aku benar-benar lupa cara berteriak. Aku menangis, parah.
“Tuntun Ummi dua kalimat syahadat, Nduk…”
Napasku yang sesak berusaha membantu Ummi untuk yang terakhir kalinya,
“Assyhadu allaa illaha’ilallahu… wa’assyhadu annaa Muhammadarrasulullah…”
***
Sehelai
jiwa yang suci kini telah pergi. Tak ada lagi tawa bersama, tak ada
lagi air mata cinta, tak ada lagi asa yang selalu menggetarkan jiwa,
menyemangati hari-hariku dengan halus sentuhannya, keindahan lekuk
bibirnya, siluet tubuhnya yang sudah renta terbalut dengan kain di
sekujur tubuhnya. Sekarang aku baru menyadari, inilah yang dapat kusebut
sebagai pilu.
***
Aku tersenyum, memandangi tempat peristirahatan terakhir Ummi dengan damai. Terlihat bayangan wajahnya yang sendu di balik nisan. Aku merindukanmu, Ummi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar